Payung merupakan salah satu obyek wisata kuliner di kota Batu yang ramai di kunjungi kawula muda. Baik dari Batu sendiri maupun luar kota Batu. Terletak di daerah perbatasan Kota Batu dan Kabupaten Malang, dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Batu pada siang atau malam hari. Dengan hawanya yang sejuk, anda dapat menikmati berbagai macam hidangan yang tersedia.
Asal nama Payung, dahulu terdapat bentuk berupa payung yang dinamakan payung pandang. Yang dimaksud dengan payung pandang adalah apabila berada dibawah bentuk berupa payung tersebut, maka akan dapat memandangi daerah Songgoriti, Batu dan sekitarnya.
Sejarah terbentuknya Payung dimulai pada tahun 1970, beberapa orang menjual jagung dari pagi sampai sore. Saat itu belum terdapat kios dan warung. Lalu pada tahun 1981, terdapat beberapa penjual yang memiliki kios sementara pedagang yang lain menggunakan tenda. Kemudian pada tahun 1981, di Payung 3 terdapat 3 tenda dan 2 tenda di Payung 2. Hingga saat ini di Payung terdapat 3 bagian yaitu Payung 1, 2, dan 3.
Penjual yang ada umumnya berasal dari Desa Pandansari (Kecamatan Pujon), Songgoriti, Kecamatan Songgokerto, Kecamatan Batu, Punten, dan Kecamatan Bumiaji.
Wisatawan yang datang adalah berasal dari Kediri, Malang, Surabaya. Pada hari-hari besar ada juga wisatawan dari luar Jawa Timur karena faktor akademis seperti Yogya, Solo, Bandung.
Keunggulan dari Payung memiliki view yang indah sehingga dapat digunakan untuk refreshing. Lalu makanan utama yang disajikan adalah jagung, roti, minuman hangat dan lain sebagainya.
Mungkin bagi sebagian besar orang yang sudah mengunjungi Kota Batu, pernah singgah untuk bersantai sambil menikmati pemandangan Kota Batu dari dataran tinggi yang disebut dengan “Payung.” Nama “Payung” di sini sebenarnya mengacu kepada sebuah pos/ tempat yang memang sengaja dibuat khusus untuk menikmati Kota Batu dari ketinggian. Dulu pos ini hanyalah bangunan kecil dengan beberapa tempat duduk dari semen atau biasanya disebut dengan “buk” dan atapnya berbentuk mirip payung. Pos ini terbuka tanpa pembatas sehingga leluasa untuk memandang ke arah manapun. Mungkin karena atapnya yang mirip payung itulah maka kemudian orang menyebutnya dengan “Payung.”
Lokasi Payung ini berada di jalur utama dari Kota Batu ke Pujon yang panjangnya kurang lebih 3 km. Jalan peninggalan zaman Belanda ini berkelok-kelok cukup tajam dan agak berbahaya karena diapit oleh tebing dan jurang. Terdapat dua Payung di sepanjang jalan ini yang biasa disebut dengan Payung I dan Payung II. Dulu tujuan orang datang ke Payung disamping untuk menikmati pemandangan Kota Batu, juga untuk menikmati jagung bakar dan minum STMJ (Susu Telor Madu Jahe, susu yang digunakan adalah susu segar asli dari Pujon yang memang sudah terkenal dengan produksi susu segarnya). Saat itu belum ada warung-warung seperti sekarang. Bisa dikatakan, makan jagung bakar hanyalah pengantarnya, tujuan utamanya adalah menikmati pemandangan Kota Batu dari ketinggian atau lebih tepatnya dari pos yang disebut dengan Payung tersebut.
Konon sejarah terbentuknya Payung dimulai pada tahun 1970, beberapa orang menjual jagung dari pagi sampai sore. Saat itu belum terdapat kios dan warung. Lalu pada tahun 1981 terdapat beberapa penjual yang memiliki kios, sementara pedagang yang lain menggunakan tenda.
Lain dulu lain sekarang. Kawasan Payung ini sekarang berkembang pesat. Warung-warung permanen yang rata-rata dibuat dari bambu dan kayu serta beratap seng ini kini bertambah padat. Warung-warung ini hanya disangga dengan bambu-bambu besar yang sebagian penyangganya ada di lereng jurang. Jadi bagian depan warung ada di tepi bahu jalan, dan sisanya, kadang hampir seluruhnya, mengawang dari bibir jurang sampai di lereng jurang. Kekuatan warung-warung hanya bergantung dari tiang-tiang penyangga yang tertancap di lereng jurang, namun anda tidak perlu takut karena penyangga-penyangga tersebut tertancap sangat kokoh.
Warung-warung ini pun saat ini tidak seperti warung-warung pendahulunya yang terkesan lusuh dan kusam. Bisa dikatakan warung-warung ini sudah seperti kafe yang penuh dengan warna-warni menyolok, tempat “lesehan” yang lebih memadai, bambu-bambu yang dicat dan dihias, serta menu yang beragam. Payung tidak lagi identik dengan jagung bakar dan STMJ, tetapi aneka menu bisa dinikmati seperti: bakso, sate, bakmie goreng, nasi goreng, roti bakar, pisang bakar dll. Minumannya pun bukan lagi hanya STMJ, namun ada kopi, teh, jahe, soda gembira, jus buah, dan aneka minuman botol dan kopi instan. Namun meskipun menu makanan sudah beraneka ragam, kawasan payung tetap identik dengan jagung bakar dan STMJ. Warung-warung tersebut saling bersaing dalam menarik wisatawan dengan menonjolkan keunikan masing-masing yang cukup menarik.
Kawasan Payung ini begitu semarak di akhir minggu dan hari-hari libur sekolah, terutama di malam hari. Anda mau begadang sampai pagi? Di sinilah tempatnya karena warung-warung ini rata-rata buka sampai fajar menyingsing. Apalagi di malam tahun baru, kalau kita sedang asyik makan dan minum sambil ngobrol dengan orang-orang terdekat, maka kita akan lupa kalau sebenarnya warung tempat kita duduk berada di bibir jurang yang cukup dalam. Namun justru karena posisinya yang “berbahaya” itulah kita bisa menikmati gemerlap lampu-lampu yang menerangi Kota Batu di malam hari dengan leluasa. Seperti taburan bintang yang berkelap-kelip mempesona.
Melihat tingkat kunjungan wisatawan lokal dan luar kota ke kawasan ini yang kian hari kian bertambah padat, dan bisa dikatakan sudah menjadi “Spot” wisata, Pemkot Batu rupanya cukup tanggap. Beberapa ruas jalan yang berbahaya diperlebar, diberi pagar pengaman, serta dipasang lampu-lampu jalan berwarna kuning terang sehingga menambah kenyamanan dan keamanan wisatawan.