Dheeva Wisata

Your holliday partner

Amazing Blitar

Spirit Histori of Java

Dheeva Wisata

Tour Organizer

Reservasi Armada

Sewa Bus Pariwisata Blitar

Payung kota Batu Kota Batu



Payung merupakan salah satu obyek wisata kuliner di kota Batu yang ramai di kunjungi kawula muda. Baik dari Batu sendiri maupun luar kota Batu. Terletak di daerah perbatasan Kota Batu dan Kabupaten Malang, dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Batu pada siang atau malam hari. Dengan hawanya yang sejuk, anda dapat menikmati berbagai macam hidangan yang tersedia.

Asal nama Payung, dahulu terdapat bentuk berupa payung yang dinamakan payung pandang. Yang dimaksud dengan payung pandang adalah apabila berada dibawah bentuk berupa payung tersebut, maka akan dapat memandangi daerah Songgoriti, Batu dan sekitarnya.

Sejarah terbentuknya Payung dimulai pada tahun 1970, beberapa orang menjual jagung dari pagi sampai sore. Saat itu belum terdapat kios dan warung. Lalu pada tahun 1981, terdapat beberapa penjual yang memiliki kios sementara pedagang yang lain menggunakan tenda. Kemudian pada tahun 1981, di Payung 3 terdapat 3 tenda dan 2 tenda di Payung 2. Hingga saat ini di Payung terdapat 3 bagian yaitu Payung 1, 2, dan 3.

Penjual yang ada umumnya berasal dari Desa Pandansari (Kecamatan Pujon), Songgoriti, Kecamatan Songgokerto, Kecamatan Batu, Punten, dan Kecamatan Bumiaji.

Wisatawan yang datang adalah berasal dari Kediri, Malang, Surabaya. Pada hari-hari besar ada juga wisatawan dari luar Jawa Timur karena faktor akademis seperti Yogya, Solo, Bandung.

Keunggulan dari Payung memiliki view yang indah sehingga dapat digunakan untuk refreshing. Lalu makanan utama yang disajikan adalah jagung, roti, minuman hangat dan lain sebagainya.
Mungkin bagi sebagian besar orang yang sudah mengunjungi Kota Batu, pernah singgah untuk bersantai sambil menikmati pemandangan Kota Batu dari dataran tinggi yang disebut dengan “Payung.” Nama “Payung” di sini sebenarnya mengacu kepada sebuah pos/ tempat yang memang sengaja dibuat khusus untuk menikmati Kota Batu dari ketinggian. Dulu pos ini hanyalah bangunan kecil dengan beberapa tempat duduk dari semen atau biasanya disebut dengan “buk” dan atapnya berbentuk mirip payung. Pos ini terbuka tanpa pembatas sehingga leluasa untuk memandang ke arah manapun. Mungkin karena atapnya yang mirip payung itulah maka kemudian orang menyebutnya dengan “Payung.”
Lokasi Payung ini berada di jalur utama dari Kota Batu ke Pujon yang panjangnya kurang lebih 3 km. Jalan peninggalan zaman Belanda ini berkelok-kelok cukup tajam dan agak berbahaya karena diapit oleh tebing dan jurang. Terdapat dua Payung di sepanjang jalan ini yang biasa disebut dengan Payung I dan Payung II. Dulu tujuan orang datang ke Payung disamping untuk menikmati pemandangan Kota Batu, juga untuk menikmati jagung bakar dan minum STMJ (Susu Telor Madu Jahe, susu yang digunakan adalah susu segar asli dari Pujon yang memang sudah terkenal dengan produksi susu segarnya). Saat itu belum ada warung-warung seperti sekarang. Bisa dikatakan, makan jagung bakar hanyalah pengantarnya, tujuan utamanya adalah menikmati pemandangan Kota Batu dari ketinggian atau lebih tepatnya dari pos yang disebut dengan Payung tersebut.


Konon sejarah terbentuknya Payung dimulai pada tahun 1970, beberapa orang menjual jagung dari pagi sampai sore. Saat itu belum terdapat kios dan warung. Lalu pada tahun 1981 terdapat beberapa penjual yang memiliki kios, sementara pedagang yang lain menggunakan tenda.
Lain dulu lain sekarang. Kawasan Payung ini sekarang berkembang pesat. Warung-warung permanen yang rata-rata dibuat dari bambu dan kayu serta beratap seng ini kini bertambah padat. Warung-warung ini hanya disangga dengan bambu-bambu besar yang sebagian penyangganya ada di lereng jurang. Jadi bagian depan warung ada di tepi bahu jalan, dan sisanya, kadang hampir seluruhnya, mengawang dari bibir jurang sampai di lereng jurang. Kekuatan warung-warung hanya bergantung dari tiang-tiang penyangga yang tertancap di lereng jurang, namun anda tidak perlu takut karena penyangga-penyangga tersebut tertancap sangat kokoh.


Warung-warung ini pun saat ini tidak seperti warung-warung pendahulunya yang terkesan lusuh dan kusam. Bisa dikatakan warung-warung ini sudah seperti kafe yang penuh dengan warna-warni menyolok, tempat “lesehan” yang lebih memadai, bambu-bambu yang dicat dan dihias, serta menu yang beragam. Payung tidak lagi identik dengan jagung bakar dan STMJ, tetapi aneka menu bisa dinikmati seperti: bakso, sate, bakmie goreng, nasi goreng, roti bakar, pisang bakar dll. Minumannya pun bukan lagi hanya STMJ, namun ada kopi, teh, jahe, soda gembira, jus buah, dan aneka minuman botol dan kopi instan. Namun meskipun menu makanan sudah beraneka ragam, kawasan payung tetap identik dengan jagung bakar dan STMJ. Warung-warung tersebut saling bersaing dalam menarik wisatawan dengan menonjolkan keunikan masing-masing yang cukup menarik.
Kawasan Payung ini begitu semarak di akhir minggu dan hari-hari libur sekolah, terutama di malam hari. Anda mau begadang sampai pagi? Di sinilah tempatnya karena warung-warung ini rata-rata buka sampai fajar menyingsing. Apalagi di malam tahun baru, kalau kita sedang asyik makan dan minum sambil ngobrol dengan orang-orang terdekat, maka kita akan lupa kalau sebenarnya warung tempat kita duduk berada di bibir jurang yang cukup dalam. Namun justru karena posisinya yang “berbahaya” itulah kita bisa menikmati gemerlap lampu-lampu yang menerangi Kota Batu di malam hari dengan leluasa. Seperti taburan bintang yang berkelap-kelip mempesona.


Melihat tingkat kunjungan wisatawan lokal dan luar kota ke kawasan ini yang kian hari kian bertambah padat, dan bisa dikatakan sudah menjadi “Spot” wisata, Pemkot Batu rupanya cukup tanggap. Beberapa ruas jalan yang berbahaya diperlebar, diberi pagar pengaman, serta dipasang lampu-lampu jalan berwarna kuning terang sehingga menambah kenyamanan dan keamanan wisatawan.
Akhir kata, tidak ada salahnya anda mencoba kawasan Payung untuk menghabiskan malam bersama keluarga, sahabat, atau orang-orang yang anda cintai.

Источник: http://pesonamalangraya.com/?p=1464#more-1464

Pemandian Air Panas Cangar





Cangar merupakan nama sebuah pemandian air panas alami yang beradi di Kota Batu, tepatnya berdadi di kawasan Taman Hutan Rakyat (TAHURA) R. Soeryo, Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, kota Batu, Propinsi Jawa Timur. Seperti namanya, dari Desa inilah mengalir sumber air pertama yang mengaliri sungai terpanjang di Pulau Jawa, yaitu Sungai Brantas yang kemudian tersambung dengan Sungai Bengawan Solo. Muhammad Yamin pernah mengatakan bahwa konon Gajah Mada lahir di sebuah lembah di dekat (hulu) sumber mata air Brantas. Sedangkan Desa Sumber Brantas sendiri berada di antara Gunung Welirang dan Gunung Arjuno.
Dinamakan Gunung Welirang, karena di puncaknya terdapat kandungan belerang. Dan dari sanalah mengalir air panas yang kemudian membentuk sebuah kolam untuk berendam. Di sekitar mata air ini banyak terdapat gua-gua buatan peninggalan di masa pendudukan Jepang. Penduduk di sini mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Anda akan menyaksikan lahan-lahan pertanian yang teramat subur, khususnya tanaman Apel yang berada di sepanjang perjalanan menuju pemandian air Panas Cangar. Berikut akan saya sajikan salah satu surga pariwisata negeri kita, Indonesia…





Cangar, jaraknya sekitar 18 km dari kota Batu. Sepanjang perjalanan aku memperhatikan banyak sekali titik-titik yang sangat indah selama perjalanan menuju lokasi dari arah kota batu, kita akan memasuki Desa Punten, yang terkenal dengan desa sejuta bunga, karena sepanjang perjalanan, maupun hampir seluruh penduduknya menanam bunga, baik untuk di jual maupun untuk dinikmati sendiri. kita akan melihat hamparan bunga berbagai macam jenis dan spesies.

Setelah itu kita akan memasuki perkebunan apel yang banyak bertebaran di sebelah kanan dan kiri jalan yang kita lewati. dan banyak juga para pedagang apel yang menjajakan apel segar yang baru saja di petik, bila panen raya tiba, harga apel disini bisa kita tawar dengan sedikit lebih rendah dari harga biasanya.

Setelah kita melewati kebun apel dan pemukiman penduduknya, kita akan mulai memasuki perjalanan yang lebih menyenangkan. Jalannya meliuk-liuk seperti ular. Kita akan melihat hamparan perkebunan sayur mayur yang terdapat hampir di sepanjang sisa perjalanan menuju cangar, suasana jadi lebih indah lagi karena latar belakang perbukitan yang hijau, udara yang sangat sejuk dan hamparan hijau sayuran ditambah sedikit2 bunga liar yang banyak tumbuh di sebalah sisi jalan.

Selain itu, kita akan menemui banyak Green House budidaya Jamur dari yang kelas home industri hingga skala industri besar. Konon, jamur-jamur ini di ekspor ke luar negeri.

Setelah perjalanan mencapai titik tertinggi, jalanan akan menurun tajam hingga 45 derajat dengan tikungan berbentuk U sebanyak 5 kali. Dan kita mulai masuk ke lokasi wisata Cangar. Harga tiket masuknya murah banget, hanya Rp. 3.000,-/orang. Tapi, khusus wisatawan asing harga tiketnya Rp. 20.000,-

Letak kolamnya sekitar 100 m dari loket. Jalan setapak yang menurun menuju lokasi berupa anak tangga yang cukup lebar namun curam. Perjalanan menuju lokasi, kita akan memasuki hutan yang sangat lebat. Suara khas binatang hutan akan mengiringi perjalan anda. Udara di sini sangat sejuk, dingin.. namun sangat menyegarkan.


Air Terjun Coban Rondo



Bagi Anda penyuka wisata perjalanan, pasti sudah tak asing lagi jika mendengar nama Coban Rondo. Coban merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti air terjun, sedangkan Rondo berarti janda. Objek wisata air terjun ini berada di lereng Gunung Kawi, tepatnya Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kebupaten Malang.

Berada pada ketinggian 1.135 meter di atas permukaan laut, membuat kawasan ini terasa sejuk dan nyaman untuk dikunjungi. Berwisata menghabiskan waktu libur bersama keluarga merupakan hal yang tepat untuk dilakukan di objek wisata ini. Di sini, Anda juga dapat berenang di kolam yang terbentuk alami karena hempasan air yang terjun dari ketinggian 85 meter.

Air Terjun Coban Rondo mempunyai debit air yang cukup deras. Pada musim kemarau saja debit air bisa mencapai 90 liter per detik, sedangkan musim hujan, air terjun ini bisa memuntahkan air sebanyak 150 liter per detiknya. Airnya yang deras sering digunakan wisatawan untuk relaksasi dengan cara duduk di bawah air terjun dan membiarkan tubuhnya dihempas oleh derasnya air.

Jika ingin mencapai air terjun, Anda harus berjalan kaki sekitar 2 km dari loket pembelian karcis. Perjalanan Anda tidak akan terasa berat, karena rimbunnya pepohonan hijau yang akan melindungi Anda dari sengatan sinar matahari dan memberi banyak oksigen untuk paru-paru. Jalan setapak yang harus dilewati sudah cukup baik sehingga tidak memberatkan perjalanan Anda.


Dalam tempat wisata ini juga terdapat fasilitas lain, seperti arena bermain anak serta tempat untuk Anda yang ingin berkemah di alam terbuka. Dalam perjalanan, Anda akan melewati jembatan yang membentang di atas sungai. Suara riak air akan terdengar sangat menyejukkan. Di ujung jalan, banyak pula pedagang-pedagang yang menawarkan makanan, minuman, bahkan souvenir unik yang bisa dijadikan kenang-kenangan atau oleh-oleh.


Objek wisata ini mudah dijangkau oleh wisatawan yang ingin berkunjung. Dari pusat Kota Malang, Anda dapat menggunakan kendaraan bermotor menuju lokasi dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Gunung Bromo




Gunung Bromo (dari bahasa Sanskerta: Brahma, salah seorang Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai funung berapi yang masih aktif.

Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.

Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo

Bagi penduduk Bromo, suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.


Untuk pendakian langsung menuju gunung bromo setelah melakukan pendakian ke gunung semeru dari pos ranu pani, merupakan pengalaman yang menarik dan penuh tantangan. Di Ranu Pani terdapat Pos pendakian dan dua buah danau (ranu) yang cukup terkenal dan sangat indah, yakni Ranu Pani dan Ranu Regulo.

Rute Perjalanan
Untuk memulai perjalanan menuju gunung Bromo, kita menuju Pos jalan pintas yang berada di ujung desa Ranu Pani, sebaiknya perjalanan dilakukan pada pagi hari, dikarenakan bila kita melakukan perjalanan pada pada sore atau malam hari, selain samarnya rute perjalanan, juga terdapat anjing liar yang dapat menyerang kita setiap saat. Atau kita juga bisa melakukan perjalanan dengan menyewa jeep yang banyak di sewakan di desa ranu pani, dengan harga sewa mencapai 500.000,- dengan lama perjalanan sekitar 2 jam menggunakan jeep atau dengan jalan kaki sekitar 4 jam perkalanan dengan jarak tempuh sekitar 12km.

Setelah sampai di batas akhir desa Ranu Pani terdapat Pos istirahat yang berada diatas bukit, melihat kebawah bukit pemandangan begitu indah dan jalur perjalanan menuju gunung bromo begitu terlihat. Perjalanan dilanjutkan dengan menuruni bukit yang cukup curam, kita perlu extra hati-hati karena selain jalurnya sempit juga tertutup oleh semak-semak yang tinggi. Bukit ini sangat terjal dan memanjang mengelilingi kompleks gunung Bromo.


Sampai di bawah bukit kita akan menemui padang rumput yang begitu luas dengan rumputnya yang tinggi, padang rumput yang memanjang ini menuju ke gunung bromo yang diapit oleh dua bukit disisinya. Setelah berjalan sekitar 2 jam melewati padang rumput yang luas dan sangat panas, kita akan sampai pada lautan pasir, perjalanan melewati lautan pasir begitu berat, selain gersang sinar matahari begitu terik sehingga membakar bia kulit, walaupun angin di padang pasir ini begitu dingin, berbeda dengan angin di padang rumput yang terasa panas.


Begitu beratnya perjalanan di padang pasir dengan terik matahari yag begitu menyengat kita menempuh perjalanan mengelilingi gunung bromo dari belakang dengan rute perjalanan yang agak membingungkan, setelah sampai disisi timur bagian gunung bromo, terlihat jalur untuk menuju puncak. Dengan melewati jalur yang sangat sempit dan berliku kita menuju puncak Gunung Bromo. Ditengah hari yang sangat panas dan cukup melelahkan, jalur yang dilewati naik turun dan bisa mengakibatkan longsor membuat kita perlu berhati-hati. Mendekati puncak bromo sudah tercium bau belerang.



Dari puncak bromo tampak kawah Gunung Bromo yang masih aktif, di dasar kawah terlihat warna keemasan belerang dan kepulan asap putih yang menjulang ke atas, menyebarkan bau belerang. Untuk menuruni Puncak gunung Bromo kita bisa memilih melewati jalan yang yang biasa dipergunakan oleh para wisatawan, dengan menuruni anak tangga yang begitu panjang dan cukup melelahkan. Setelah sampai dibawah, banyak para penduduk local yang siap dengan kudanya untuk disewakan.

Untuk menuju cemoro lawang kita bisa menggunakan kuda yang disewakan atau kita bisa meneruskan dengan bejalan kaki dengan melewati lautan pasir dan mendaki bukit untuk menuju cemoro lawang. Dari cemoro lawang perjalanan kita lanjut dengan kendaraan umum menuju kota Probolingo.

Jejak Sejarah Jakarta di Pulau Kelor


Pulau Kelor memang hanya secuil daratan di gugusan Kepulauan Seribu. Namun pulau kecil yang berjarak 1,8 km dari pesisir Jakarta itu menyimpan sejarah panjang dari periode awal kota Batavia — yang kini menjadi ibu kota negara kita.
Pasir putih menyambut pengunjung Pulau Kelor. (Hairun Fahrudin)
Sedihnya, sisa-sisa benteng kuno di pulau ini kurang terawat, bahkan Pulau Kelor sendiri diperkirakan akan tenggelam dalam kurun 45 tahun ke depan.

Dari pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Barat, Pulau Kelor bisa dicapai dalam waktu 20 menit dengan perahu motor. Dalam perjalanan yang singkat itu, perahu motor bisa saja tiba-tiba terhenti karena baling-balingnya tersangkut sampah. Perairan di sekitar Muara Kamal ibarat tempat pembuangan sampah raksasa, sehingga air laut menjadi berwarna hitam pekat dan mengeluarkan aroma tidak sedap.
Sisa-sisa benteng. (Hairun Fahrudin)
Makin jauh dari pesisir Jakarta, warna air laut berangsur-angsur menjadi coklat terang. Gambaran suram kerusakan lingkungan di perairan Jakarta akan berganti dengan panorama yang mempesona. Hamparan pasir putih yang bersih akan menyapa pengunjung setelah perahu merapat di Pulau Kelor.

Nama asli Pulau Kelor sebenarnya adalah Pulau Kherkof. Konon, masyarakat setempat menyebutnya Pulau Kelor karena ukurannya sangat mungil, dianggap hanya selebar daun kelor. Luas pulau yang saat ini kurang dari 2 hektar diperkirakan terus menyusut akibat abrasi dan kenaikan permukaan laut.

Bahkan pakar lingkungan memperkirakan, Pulau Kelor bisa tenggelam kalau pengaruh buruk lingkungan tidak diredam.

Pulau Kelor pernah menjadi bagian sejarah kelam penjajahan Belanda di Indonesia karena menjadi kuburan bagi banyak tahanan politik yang dihukum mati. Penghuni Pulau Kelor sendiri hanya kucing-kucing liar yang tak jelas asalnya dan terkadang para pemancing ikan.

Daya tarik utama Pulau Kelor adalah Benteng Martello yang dibangun VOC pada abad ke-17. Benteng ini terbuat dari batu bata merah berbentuk lingkaran supaya senjata bisa bermanuver 360 derajat. Benteng Martello dibuat VOC sebagai alat pertahanan untuk meredam serangan musuh yang ingin menyerang Batavia.

Sisa-sisa Benteng Martello sebenarnya juga bisa ditemukan di Pulau Bidadari dan Pulau Onrust, namun bentuknya yang paling utuh hanya bisa dilihat di Pulau Kelor. Benteng Martello di Pulau Onrust bahkan hanya tinggal fondasinya saja.
Sisa benteng di Pulau Kelor. (Hairun Fahrudin)
Benteng Martello di Pulau Kelor rusak parah karena terjangan tsunami akibat letusan Krakatau pada tahun 1883. Pengikisan karena gelombang laut juga membuat bagian luar benteng terendam air. Untuk mengurangi dampak pengikisan, kini dipasang pilar-pilar pemecah gelombang.

Menurut Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) yang sering memandu tur ke Pulau Kelor, kerusakan situs sejarah di Pulau Kelor tidak hanya disebabkan faktor alam. Wisatawan dan nelayan yang berlabuh di pulau itu juga punya andil dalam memperparah kerusakan. Asep Kambali sendiri pernah memasang papan pengumuman yang berisi larangan merusak benteng, namun tangan jahil rupanya telah membuang papan peringatan itu.

Saat saya berkunjung ke Pulau Kelor, beberapa pemancing ikan dengan seenaknya menggantung pakaian dan alat pemancingan di dinding Benteng Martello. Mereka menancapkan paku-paku di dinding benteng untuk dibuat gantungan. Tindakan ini tentu saja bisa merusak situs sejarah yang sangat penting, tetapi pemerintah dan masyarakat ternyata masih kurang peduli.

Upaya pemerintah untuk mengembangkan tujuan wisata sejarah di Pulau Kelor dan pulau-pulau lainnya di Kepulauan Seribu juga masih belum maksimal, terang Asep Kambali. Sampai sekarang belum ada angkutan umum berbiaya murah yang bisa mengantar wisatawan ke Pulau Kelor. Untuk mencapai pulau-pulau bersejarah di Kepulauan Seribu, pengunjung harus menyewa perahu yang biayanya cukup mahal.

Kunjungi juga blog Hairun Fahrudin di easybackpacking.blofspot.com.

Sumber Yahoo Travel


Ruwatan untuk Si Rambut Gimbal





Bagi beberapa bocah di Dieng, rambut gimbal bukan sekadar mode. Rambut gimbal mereka tumbuh sendiri dan baru bisa hilang setelah diruwat.

Belum ada penjelasan ilmiah mengapa rambut mereka bisa tumbuh sendiri dengan gimbal. Tetapi masyarakat Dieng percaya, mereka yang berambut gimbal — atau rambut gembel — adalah anak kesayangan Nyi Roro Kidul, makhluk halus penguasa Pantai Selatan.

Namun cerita paling populer menyebutkan, bocah gimbal adalah titisan Ki Kolodete, tokoh yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat Dieng. Itulah mengapa rambut bocah gimbal hanya boleh digunting saat ruwatan. Bila dipotong tanpa upacara ruwatan, rambut gimbal akan tumbuh kembali serta mendatangkan petaka.

Sebagai syarat ruwatan, orangtua harus memenuhi permintaan anak gimbal (ada permintaan yang sangat sederhana seperti susu dan permen, ada pula yang aneh dan sulit dipenuhi misalnya seratus buah kepala ayam).

Ruwatan juga hanya bisa dilakukan jika si anak gimbal memintanya sendirinya.

Karena biaya yang mahal, sebagian orangtua memilih mengikutkan anak mereka dalam ruwatan massal yang diadakan pemerintah Kabupaten Banjarnegara. Dalam ruwatan massal ini, semua permintaan anak gimbal akan ditanggung panitia sehingga meringankan orangtua yang kurang mampu.

Digelar setiap bulan Juli atau Agustus, ruwatan anak gimbal ini menjadi agenda wisata paling menarik di Dieng.

Ritual ruwatan rambut gimbal dimulai dari rumah Naryono, pemangku adat Desa Dieng Kulon yang sekaligus menjadi pemimpin prosesi. Kesibukan di rumah sang pemangku adat sudah dimulai sejak pagi hari dengan menata banyak sesaji yang terdiri dari tumpeng berbagai warna, jajan pasar, bubur nasi, ayam panggang, serta kembang setaman.
Berbagai sesaji siap dibawa sebagai bagian dari prosesi ruwatan. (Hairun Fahrudin)
Sebagai pelengkap upacara, disiapkan pula dua buah gunungan yang terbuat dari buah-buahan dan hasil bumi.

Menjelang dimulainya prosesi, kepala anak gimbal yang akan diruwat diikat dengan kain putih sampai menutupi jidat mereka. Mereka kemudian akan dikirab menyusuri perkampungan Dieng Kulon, kemudian melewati Jalan Raya Dieng, lalu arak-arakan berakhir di pelataran Candi Arjuna.
Arak-arakan berakhir di Candi Arjuna. (Hairun Fahrudin)
Tepat pukul 9 pagi, kirab yang meriah itu segera dimulai. Para sesepuh menempati barisan paling depan, berderet rapi dengan membawa sesajen. Tak lupa, permintaan para bocah gimbal juga juga turut diarak. Rupanya ada yang meminta seekor kambing dan sepeda mini. Semua benda permintaan ditaruh dalam gerobak beroda yang ditarik oleh seorang sesepuh desa.

Para bocah gimbal yang akan diruwat berada di belakang para sesepuh desa. Mereka tidak berjalan kaki, tetapi diangkut andong. Bagaikan raja-raja kecil, bocah-bocah itu menjadi pusat perhatian warga yang menyaksikan kirab di sepanjang jalan. Puluhan fotografer yang sudah menunggu sejak pagi jug` tak mau menyia-nyiakan kesempatan langka untuk mengabadikan momen yang menarik tersebut.

Di belakang andong-andong yang dinaiki bocah gimbal, para penari, pemusik dan pemain barongsai segera beraksi. Tembang-tembang Jawa populer dimainkan dengan alat musik tek-tek, lalu diikuti aksi barongsai yang atraktif. Lengkap sudah kemeriahan arak-arakan hari itu.

Setelah menempuh jarak sekitar 1 km, rombongan kirab berpisah di pelataran Candi Arjuna. Para sesepuh bersama bocah-bocah gimbal menuju sumur Sendang Sedayu yang tak jauh dari kompleks Candi Arjuna untuk melakukan prosesi jamasan (memandikan). Tim seniman pengiring melanjutkan aksinya di panggung hiburan yang telah disiapkan panitia ruwatan*massal.
Kirab ini berpisah di pelataran Candi Arjuna; para sesepuh dan bocah gimbal menuju sumur. (Hairun Fahrudin)
Di depan sumur Sendang Sedayu, para pemangku adat berdoa khusuk lalu mengambil air yang akan dipakai untuk jamasan. Sebagai syarat prosesi, air dari sumur Sendang Sedayu harus dicampur dengan kembang tujuh rupa dan air dari enam sumber mata air lainnya. Dalam prosesi jamasan itu, bocah-bocah gimbal ternyata tidak benar-benar dimandikan, mereka hanya diusap dengan air suci.
Persiapan ruwatan di Candi Arjuna. (Hairun Fahrudin)
Setelah jamasan selesai, bocah-bocah gimbal dibawa ke pelataran Candi Arjuna untuk mengikuti ritual puncak, yakni pemotongan rambut. Sebelum digunting, tiap helai rambut gimbal dimasukkan cincin keramat dan diasapi dengan kemenyan. Kemudian satu persatu tetua adat dan tokoh masyarakat menggunting rambut bocah gimbal.

Rambut gimbal yang telah dipotong kemudian dilarung di Sungai Serayu yang bermuara di Laut Selatan. Dengan begitu, segala malapetaka dianggap sudah dijauhkan dan si anak menjadi sumber berkah bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Kunjungi juga blog Hairun Fahrudin di easybackpacking.blogspot.com

Sumber Yahoo Travel










Telusur Gua Pindul di Atas Ban



Salah satu gua yang cukup populer di Yogyakarta adalah Gua Pindul, yang terletak di Desa Bejiharjo, Karangmojo, Kab Gunungkidul. Di Pindul, pengunjung dapat menelusuri gua di atas ban karet — atau sering disebut “tubing”.

Berbeda dengan kebanyakan gua di Indonesia yang merupakan “gua kering” (yang dapat dimasuki wisatawan dengan sangat mudah), Gua Pindul ini termasuk “gua basah”, dengan sungai mengalir dari bagian depan hingga mulut gua di bagian belakang.
Bersiap masuk ke gua dengan ban karet. (Olenka Priyadarsani)
Panjang gua sendiri berkisar sekitar 300 meter dengan aliran sungai yang sangat tenang.

Pengunjung yang datang dan ingin melakukan telusur gua harus mendaftar terlebih dahulu dengan biaya Rp 30 ribu per orang. Biaya ini sudah termasuk ban karet, jaket pelampung (yang tahan beban 100 kg), dan pemandu. Barang-barang bawaan Anda dapat dititipkan di bagian keamanan, namun kamera harus tetap dibawa!

Setelah mendaftar, Anda dipersilakan membawa ban karet menuju mulut gua, sekitar 200 meter dari bagian pendaftaran. Di sana, pemandu akan mengajak berdoa terlebih dahulu dan menjelaskan tata tertib. Salah satunya adalah, Anda dilarang membuang benda apa pun sembarangan karena pihak pengelola berusaha untuk menjaga kondisi gua dan sekitarnya.

Gua Pindul terdiri dari tiga bagian; bagian terang, remang-remang, dan bagian gelap. Para pemandu membawa senter sambil menjelaskan tentang kondisi gua. Stalaktit dan stalakmit mendominasi interior Gua Pindul. Di beberapa tempat terdapat pilar gua, yaitu stalaktit dan stalakmit yang sudah bertemu dan menjadi seperti sebuah tiang.

Di salah satu lokasi terdapat sebuat tempat yang datar, kabarnya dahulu merupakan tempat pertapaan. Di gua ini terdapat tiga satwa yang dilindungi, yaitu burung seriti, burung walet, dan kelelawar. Menurut pemandu, gua tersebut memang dibiarkan gelap tanpa penerangan untuk melindungi kelelawar yang hidup di dalamnya.

Ada bagian gua yang menyempit hingga hanya cukup untuk satu ban karet. Pengunjung harus bergantian memasuki lorong ini. Pemandu akan membantu menarik ban-ban karet tersebut.

Menjelang ujung gua, terdapat sebuah lokasi yang dapat digunakan untuk melompat. Benar kata si pemandu, sekali melompat Anda pasti ketagihan! Beberapa pengunjung sampai melompat 2 hingga 3 kali.

Sampai di bagian luar gua, petualangan belum selesai. Pengunjung diharuskan naik dari pinggir sungai ke atas menggunakan tali. Pengelola memang sengaja tidak membuat tangga untuk membuat acara telusur gua menjadi lebih seru. Keseluruhan jelajah gua membutuhkan waktu 45 menit hingga 1 jam.
Pengunjung diharuskan naik dari pinggir sungai ke atas menggunakan tali. (Olenka Priyadarsani)
Wisata di Gua Pindul sangat cocok bagi Anda yang gemar berpetualang, atau ingin berwisata bersama keluarga. Gua ini masih alami, pemandangan sekitarnya pun indah, sangat cocok untuk menghabiskan akhir pekan.

Bila Anda berkesempatan berkunjung ke Pindul, jangan lewatkan juga kunjungan ke Gua Gelatik dan Monumen Jenderal Soedirman yang berada sangat dekat dari situ. Kalau ketagihan menyusuri aliran air dengan ban karet, silakan coba juga paket susur gua dengan ban karet di Sungai Oya tidak jauh dari situ. Waktu penyusuran di sini sekitar 1,5 jam.

Kunjungi juga blog perjalanan Olenka di www.backpackology.me

Sumber : Yahoo travel